Nikah sirri di KUA, mungkinkah?. Ketika
pertanyaan itu disampaikan kepada PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan, spontan mereka pasti akan menjawab tidak mungkin. Akan tetapi ketika
pertanyaan ini disampaikan kepada peneliti dan atau akademisi tentu tidak
serta-merta menjawab “mungkin atau tidak
mungkin” sebelum dilakukan penelitian ilmiah, dikaji dan ditemukannya
data-data valid yang ada di lapangan. Karena pada prinsipnya data-data di
lapangan dalam sebuah penelitian ilmiah sesungguhnya akan menjadi sebuah jawaban
atas pertanyaan tersebut di atas.
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU Nomor. 1
Tahun 1974 merupakan azas pokok dari sahnya pernikahan. Ketentuan ayat (1)
dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat komulatif, bukan syarat alternatif
sahnya suatu pernikahan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut
sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya
mencatatkan pernikahan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut masih mengandung
kelemahan karena pasal tersebut multi
tafsir, dan juga tidak disertai adanya sanksi bagi mereka yang
melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan pernikahan dalam undang-undang
tersebut bersifat tidak tegas.[1]
Kemudian dalam pelaksanaan hukum pernikahan
di Indonesia, eksistensi seorang PPN/Kepala/Penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama sangatlah
penting. Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam pernikahan oleh
seorang PPN/Kepala/Penghulu dapat menyebabkan pernikahan itu bisa dilaksanakan
atau tidak. PPN/Kepala/Penghulu dapat menggagalkan pernikahan dan menolak untuk
mencatatnya manakala hasil pemeriksaanya terhadap pihak-pihak yang terkait
dalam pernikahan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum
pernikahan.[2]
Seorang PPN/Kepala/Penghulu dalam menjalankan
tugasnya haruslah berpegang kepada
aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan, KHI dan aturan-aturan lain yang berhubungan
dengan tugas-tugas
kepenghuluan. Dalam
hukum Administrasi Negara dijelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus
didasarkan pada undang-undang, yang kemudian dikenal dengan istilah asas legalitas.[3]
Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan
kenegaraan dan pemerintahan, atau dengan kata lain asas legalitas memiliki kedudukan sentral sebagai suatu fondamen
dari negara hukum. Untuk itu, PPN/Kepala/Penghulu sebagai aparatur pemerintah juga harus tunduk dengan
aturan perundang-undangan (hukum positip) dalam menjalankan tugasnya.
Namun dalam praktiknya di lapangan para PPN/Kepala/Penghulu ternyata belum sepenuhnya menggunakan
hukum positif sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya. Bahkan ada kecenderungan dalam beberapa kasus pernikahan yang terjadi, para PPN/Kepala/Penghulu masih menggunakan aturan hukum pernikahan yang ada
dalam kitab-kitab fiqh sebagai pilihan. Sikap dualisme
PPN/Kepala/Penghulu ini dalam menggunakan aturan hukum kemudian dianggap sebagai sikap inkonsistensi
yang menyalahi aturan hukum Administrasi Negara. Dalam tulisanya, Afif Mundzir menjelaskan bahwa, “Ironis banyak pelaku hukum
positip yang ada di KUA, dalam hal ini penghulu berlaku bias terhadap hukum
positip karena terjebak dengan varian budaya masyarakat dan juga asumsi parsial
dan hukum fiqh secara ansih”.[4]
Dengan kata lain PPN/Kepala/Penghulu dianggap tidak
konsisten dalam melaksanakan aturan hukum pernikahan. Kadang-kadang PPN/Kepala/Penghulu
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan menggunakan aturan hukum positif namun tidak
jarang juga PPN/Kepala/Penghulu menggunakan aturan fiqh, yang mestinya selaku
aparatur negara PPN/Kepala/Penghulu dituntut harus konsisten menggunakan hukum
positif dalam menjalankan tugasnya. Bahkan tidak jarang pula PPN/Kepala/Penghulu
melakukan ijtihad dan memberikan
kebijakan-kebijakan di luar hukum positif yang ada, yang hal ini terkadang dapat
berakibat hukum yang tidak bisa dianggap ringan dalam masyarakat.
Kebijakan-kebijakan PPN/Kepala/Penghulu
ini adakalanya hanya besifat lisan yang didasarkan atas alasan-alasan yang
bersifat pribadi, seperti pakewuh, alasan
keluarga dan lain sebagainya. Kasus yang terjadi di suatu wilayah tertentu misalnya, PPN/Kepala/Penghulu memberikan
kebijakan secara lisan kepada staf dan pegawai biasa untuk menghadiri, menyaksikan
dan mencatat peristiwa pernikahan dikarenakan PPN/Kepala/Penghulu merasa pakewuh dengan staf atau pegawainya yang
dipandang lebih senior dari dirinya. Sehingga peristiwa pernikahan di wilayah tersebut
banyak berlangsung dihadapan seorang staf atau pegawai biasa yang notabene-nya bukan seorang Pegawai
Pencatat Nikah yang memiliki kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan
mencatat peristiwa pernikahan.
Terhadap peristiwa tersebut
di atas sebenarnya secara jelas sudah diatur dalam KHI pasal 5 ayat (2) yang
menyatakan bahwa “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954”, dan juga pasal 6 ayat (1) yang menyatakan,
“Untuk
memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”, dan ayat (2) yang
menyebutkan bahwa “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.[5]
Berbeda dengan kasus yang
terjadi sebagaimana tersebut di atas, di wilayah lain dalam pengamatan penulis justru pernah terjadi
beberapa kali kasus pernikahan yang dilakukan bukan dihadapan
PPN/Kepala/Penghulu KUA Kecamatan setempat, melainkan hanya dilakukan dihadapan
seorang kyai saja. Padahal seorang kyai juga bukanlah Pegawai Pencatat Nikah
yang mempunyai kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat peristiwa
pernikahan. Dan terhadap pernikahan model ini, kebanyakan warga masyarakat menganggap
sebagai pernikahan sirri karena tidak
dihadiri, disaksikan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal ini PPN/Kepala/Penghulu
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.[6]
Kedua kasus tersebut di atas, dalam
pengamatan penulis cukup menarik untuk diteliti. Terhadap kasus kedua di atas, warga masyarakat spontan menganggap sebagai pernikahan
sirri karena terjadinya pernikahan tersebut tanpa dihadiri pihak yang
berwenang untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan, yaitu Pegawai
Pencatat Nikah dalam hal ini PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat. Namun yang menjadi masalahnya adalah bagaimana dengan kasus pertama di atas, ketika pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan
setempat yang menghadiri peristiwa pernikahan tersebut ternyata bukan seorang Pegawai
Pencatat Nikah,[7]
melainkan hanya staf atau pegawai biasa. Apakah ada aturan hukumnya PPN/Kepala/Penghulu
pada Kantor Urusan Agama Kecamatan memberikan kebijakan menugaskan secara lisan
kepada staf atau pegawai biasa untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat sebuah
peristiwa pernikahan?.
**) Penulis adalah Pengurus Pokjahulu Kebumen
Periode Tahun 2012-2015 dan sekaligus Penghulu Muda pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen.
[1] Effendi M Zein, Satria,
Problematika Hukum Keluarga Islam Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi
Dengan Pendekatan Ushuliyah. Cetakan II Juli. (Jakarta: Prenada Media.
2005).
[2] Imron Jauhari, Urgansi Konsensus Penghulu Dalam Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum Perkawinan, (Semarang, Pustaka Ilmu, 2012)
[3] Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan
demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap
bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan
sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Sedangkan gagasan negara
hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan legitimasi tindakan
pemerintahan dan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi
dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan dari hak-hak
rakyat. Dengan kata lain, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral
secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat
berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya
konstitutif.
[4] Afif
Mundzir dalam Rindang edisi No.11 TH.
XXXIV Juni 2009 tentang Menguak Inkonsistensi Penghulu (Semarang,
Rindang, 2009), hal. 24
[5] Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954 dan Kompilasi Hukum Islam, pasal 5
ayat (2) dan pasal 6 ayat (1) dan (2)
[6]
Wawancara dengan kyai Tholib Buluspesantren, tanggal 10 Agustus 2014, pukul.
19.30 WIB.
[7]Petugas
Pencatat Nikah atau disingkat PPN adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama RI berdasarkan UU No. 22
tahun 1946, dan sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang
mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut Agama Islam dalam wilayahnya.