Senin, 02 Februari 2015

NIKAH SIRRI DI KUA, MUNGKINKAH ?


Nikah sirri di KUA, mungkinkah?. Ketika pertanyaan itu disampaikan kepada PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, spontan mereka pasti akan menjawab tidak mungkin. Akan tetapi ketika pertanyaan ini disampaikan kepada peneliti dan atau akademisi tentu tidak serta-merta menjawab “mungkin atau tidak mungkin” sebelum dilakukan penelitian ilmiah, dikaji dan ditemukannya data-data valid yang ada di lapangan. Karena pada prinsipnya data-data di lapangan dalam sebuah penelitian ilmiah sesungguhnya akan menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan tersebut di atas.
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU Nomor. 1 Tahun 1974 merupakan azas pokok dari sahnya pernikahan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat komulatif, bukan syarat alternatif sahnya suatu pernikahan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan pernikahan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut masih mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir, dan juga tidak disertai adanya sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan pernikahan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.[1]
Kemudian dalam pelaksanaan hukum pernikahan di Indonesia, eksistensi seorang PPN/Kepala/Penghulu yang bertugas di Kantor Urusan Agama sangatlah penting. Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam pernikahan oleh seorang PPN/Kepala/Penghulu dapat menyebabkan pernikahan itu bisa dilaksanakan atau tidak. PPN/Kepala/Penghulu dapat menggagalkan pernikahan dan menolak untuk mencatatnya manakala hasil pemeriksaanya terhadap pihak-pihak yang terkait dalam pernikahan ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum pernikahan.[2]
Seorang PPN/Kepala/Penghulu dalam menjalankan tugasnya haruslah berpegang kepada aturan-aturan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan, KHI dan aturan-aturan lain yang berhubungan dengan tugas-tugas kepenghuluan. Dalam hukum Administrasi Negara dijelaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang, yang kemudian dikenal dengan istilah asas legalitas.[3] Oleh karena itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, atau dengan kata lain asas legalitas memiliki kedudukan sentral sebagai suatu fondamen dari negara hukum. Untuk itu, PPN/Kepala/Penghulu sebagai aparatur pemerintah juga harus tunduk dengan aturan perundang-undangan (hukum positip) dalam menjalankan tugasnya.
Namun dalam praktiknya di lapangan para PPN/Kepala/Penghulu ternyata belum sepenuhnya menggunakan hukum positif sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya. Bahkan ada kecenderungan dalam beberapa kasus pernikahan yang terjadi, para PPN/Kepala/Penghulu masih menggunakan aturan hukum pernikahan yang ada dalam kitab-kitab fiqh sebagai pilihan. Sikap dualisme PPN/Kepala/Penghulu ini dalam menggunakan aturan hukum kemudian dianggap sebagai sikap inkonsistensi yang menyalahi aturan hukum Administrasi Negara. Dalam tulisanya, Afif Mundzir menjelaskan bahwa, “Ironis banyak pelaku hukum positip yang ada di KUA, dalam hal ini penghulu berlaku bias terhadap hukum positip karena terjebak dengan varian budaya masyarakat dan juga asumsi parsial dan hukum fiqh secara ansih”.[4]
Dengan kata lain PPN/Kepala/Penghulu dianggap tidak konsisten dalam melaksanakan aturan hukum pernikahan. Kadang-kadang PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan menggunakan aturan hukum positif namun tidak jarang juga PPN/Kepala/Penghulu menggunakan aturan fiqh, yang mestinya selaku aparatur negara PPN/Kepala/Penghulu dituntut harus konsisten menggunakan hukum positif dalam menjalankan tugasnya. Bahkan tidak jarang pula PPN/Kepala/Penghulu melakukan ijtihad dan memberikan kebijakan-kebijakan di luar hukum positif yang ada, yang hal ini terkadang dapat berakibat hukum yang tidak bisa dianggap ringan dalam masyarakat.
Kebijakan-kebijakan PPN/Kepala/Penghulu ini adakalanya hanya besifat lisan yang didasarkan atas alasan-alasan yang bersifat pribadi, seperti pakewuh, alasan keluarga dan lain sebagainya. Kasus yang terjadi di suatu wilayah tertentu misalnya, PPN/Kepala/Penghulu memberikan kebijakan secara lisan kepada staf dan pegawai biasa untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat peristiwa pernikahan dikarenakan PPN/Kepala/Penghulu merasa pakewuh dengan staf atau pegawainya yang dipandang lebih senior dari dirinya. Sehingga peristiwa pernikahan di wilayah tersebut banyak berlangsung dihadapan seorang staf atau pegawai biasa yang notabene-nya bukan seorang Pegawai Pencatat Nikah yang memiliki kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat peristiwa pernikahan.
          Terhadap peristiwa tersebut di atas sebenarnya secara jelas sudah diatur dalam KHI pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954”, dan juga pasal 6 ayat (1) yang menyatakan, “Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah”, dan ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.[5]
Berbeda dengan kasus yang terjadi sebagaimana tersebut di atas, di wilayah lain dalam pengamatan penulis justru pernah terjadi beberapa kali kasus pernikahan yang dilakukan bukan dihadapan PPN/Kepala/Penghulu KUA Kecamatan setempat, melainkan hanya dilakukan dihadapan seorang kyai saja. Padahal seorang kyai juga bukanlah Pegawai Pencatat Nikah yang mempunyai kewenangan untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat peristiwa pernikahan. Dan terhadap pernikahan model ini, kebanyakan warga masyarakat menganggap sebagai pernikahan sirri karena tidak dihadiri, disaksikan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah, dalam hal ini PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.[6]
Kedua kasus tersebut di atas, dalam pengamatan penulis cukup menarik untuk diteliti. Terhadap kasus kedua di atas, warga masyarakat spontan menganggap sebagai pernikahan sirri karena terjadinya pernikahan tersebut tanpa dihadiri pihak yang berwenang untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat pernikahan, yaitu Pegawai Pencatat Nikah dalam hal ini PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. Namun yang menjadi masalahnya adalah bagaimana dengan  kasus pertama di atas, ketika pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat yang menghadiri peristiwa pernikahan tersebut ternyata bukan seorang Pegawai Pencatat Nikah,[7] melainkan hanya staf atau pegawai biasa. Apakah ada aturan hukumnya PPN/Kepala/Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kecamatan memberikan kebijakan menugaskan secara lisan kepada staf atau pegawai biasa untuk menghadiri, menyaksikan dan mencatat sebuah peristiwa pernikahan?.




*)  Makalah disampaikan untuk kalangan terbatas dalam forum Pokjahulu Kebumen
 **) Penulis adalah Pengurus Pokjahulu Kebumen Periode Tahun 2012-2015 dan sekaligus Penghulu Muda pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen.
[1] Effendi M Zein, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Cetakan II Juli. (Jakarta: Prenada Media. 2005).
[2] Imron Jauhari, Urgansi Konsensus Penghulu Dalam Penyelesaian Kasus-Kasus Hukum Perkawinan, (Semarang, Pustaka Ilmu, 2012)
[3] Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Sedangkan gagasan negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintahan dan jaminan perlindungan dari hak-hak rakyat. Dengan kata lain, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.
[4] Afif Mundzir  dalam Rindang edisi No.11 TH. XXXIV Juni 2009 tentang Menguak Inkonsistensi Penghulu (Semarang, Rindang, 2009), hal. 24
[5] Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954 dan Kompilasi Hukum Islam, pasal 5 ayat (2) dan pasal 6 ayat (1) dan (2)
[6] Wawancara dengan kyai Tholib Buluspesantren, tanggal 10 Agustus 2014, pukul. 19.30 WIB.
[7]Petugas Pencatat Nikah atau disingkat PPN adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama RI berdasarkan UU No. 22 tahun 1946, dan sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut Agama Islam dalam wilayahnya.

Minggu, 18 Januari 2015

ALIAN NEWS : Kunjungan Kabid Urais dan Binsyar ke KUA Kecamatan Alian pasca banjir



Alian News. Peristiwa banjir bandang yang menimpa KUA Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen terjadi di bulan Nopember 2014 yang lalu, tepatnya tanggal 25 Nopember 2014. Air bah mulai memasuki KUA Kecamatan Alian pukul. 17.00 WIB hingga titik maksimal pukul 20.00 WIB dengan ketinggian air mencapai 80 centimeter. Hal ini disebabkan karena jebolnya beberapa tangguh disisi aliran sungai Krakal yang melintas tidak jauh dari KUA Kecamatan Alian, sehingga luapan air sampai menggenangi KUA Kecamatan Alian dan sekitarnya.
Terhadap peristiwa ini, baru-baru ini disela-sela kesibukannya Kabid Urais dan Binsyar Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah bapak Drs.H.Saifullah,M.Ag dan Kasi Kepenghuluan bapak Drs.H.Zainal Fatah,M.Si dengan didampingi oleh Kasi bimas Islam Kankemenang Kabupaten Kebumen bapak Drs.H.Darisun,M.Pd.I  beliau menyempatkan diri mengunjungi KUA Kecamatan Alian untuk meninjau langsung keadaan KUA Kecamatan Alian pasca terjadinya banjir bandang. Dalam kunjungannya, beliau menyampaikan permohonan maaf karena baru sempat mengunjungi KUA Kecamatan Alian, dan menyampaikan keperihatinannya setelah melihat beberapa barang inventaris kantor yang mengalami kerusakan dan berkas-berkas NR yang hancur karena tidak sempat terselamatkan.
Lebih lanjut beliau mengatakan akan menyampaikan hal ini kepada Kakanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah dan untuk selanjutnya meminta agar meromendasikan KUA Kecamatan Alian untuk dapat diajukan bantuan rehab kantor guna meninggikan permukaan kantor, mengingat peristiwa banjir ini terjadi sudah untuk yang ketiga kalinya.
Sebelum mengakhiri kunjungannya, beliau dan rombongan juga menyempatkan diri untuk menikmati “Tahu khas Krakal” yang terkenal nikmat dan gurih. Bahkan dalam kesempatan itu beliau sempat memuji kenikmatan tahu khas Krakal, dan berkata,“Tahu khas Krakal memang nikmat, asin dan gurih..,trus kemarian banjir yang masuk ke kantor ini, airnya panas dan asin apa tidak ya..?, kan daerah sini dekat pemandian Air Panas Krakal”, tanya beliau dalam suasana kekeluargaan. Kemudian sambil berpamitan, beliau dan rombongan juga menyempatkan diri berfoto bersama pegawai KUA Kecamatan Alian di teras kantor Urusan Agama Kecamatan Alian. @sidoel / 19012015

Rabu, 07 Januari 2015

ALIAN NEWS " Banjir Melanda KUA Kecamatan Alian "




Alian News : Banjir telah melanda wilayah bagian utara Kecamatan Alian Kabupaten Kebumen pada hari Selasa tanggal 25 Nopember 2014. Adapun salah satu wilayah yang tergenang air cukup parah adalah desa Krakal Kecamatan Alian, bahkan menyebabkan longsor dan menimpa sebuah rumah dengan satu korban jiwa.
Kantor Urusan Agama Kecamatan Alian yang terletak di desa Krakal atau tepatnya berlokasi berhadapan dengan Masjid Kauman Alian juga tergenang air cukup parah hingga mencapai ketinggian satu meter. Peristiwa ini terjadi mulai pukul. 16.00 WIB yang diakibatkan jebolnya beberapa tanggul sungai Krakal yang melintas di belakang Kantor Urusan Agama Kecamatan Alian. Hal ini juga diperparah dengan derasnya curah hujan selama dua hari sejak pagi hingga malam hari. Peristiwa banjir ini merupakan yang ketiga kalinya melanda Kantor Urusan Agama Kecamatan Alian, namun dirasa yang terparah dan paling tinggi tingkat kerusakannya.
Air bah memasuki ruangan Kantor Urusan Agama Kecamatan Alian mulai pukul 17.00 WIB hingga titik maksimal pukul 20.00 WIB dengan ketinggian air mencapai 80 centimeter dalam ruangan kantor. Akibat peristiwa ini beberapa peralatan elektronik rusah parah dan pintu-pintu abrol terendam air. Beberapa arsip dan ATK yang tidak sempat terselamatkan mengalami kerusakan karena terendam air dan lumpur. Ketinggian lumpur pasca surut mencapai ketinggian hingga 10 centimeter.
Peristiwa ini sudah dilaporkan ke Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kebumen melalui Kasi Bimas Islam, baik secara lisan via telephon maupun secara tertulis. Terhadap peristiwa ini segenap P3N Kecamatan Alian juga turun membantu menyelamatkan inventarisasi kantor dan bersih-bersih pasca banjir. Lebih lanjut terhadap inventaris kantor yang mengalami kerusakan sampai berita ini diturunkan belum ada pihak yang membantu mengatasinya. (sidoel.alian news)

Selasa, 06 Januari 2015

SEBAIKNYA KITA TAHU



 
Ketika Nabi Ibrahim as. bersama anaknya membangun Ka’bah, banyak kekurangan yang dialaminya. Pada awal mulanya dulu, Ka’bah tidak memiliki pintu masuk. Nabi Ibrahim as. bersama Nabi Ismail as. berikhtiar untuk membuatnya dengan mengangkut batu dari berbagai gunung. Dalam sebuah kisah disebutkan pada waktu pembangunan Ka’bah hampir selesai, ternyata Nabi Ibrahim as. masih merasakan kekurangan sebuah batu lagi untuk diletakkan di Ka’bah. Nabi Ibrahim as. berkata kepada Nabi Ismail as., “Pergilah engkau mencari sebuah batu yang akan aku letakkan sebagai penanda bagi manusia.”
Kemudian Nabi Ismail as. pun pergi dari satu bukit kebukit yang lain untuk mencari batu yang baik dan sesuai. Ketika Nabi Ismail as. sedang mencari batu di sebuah bukit, tiba-tiba datang malaikat Jibril as. memberikan sebuah batu yang cantik. Nabi Ismail dengan segera membawa batu itu kepada Nabi Ibrahim as. Nabi Ibrahim as. merasa gembira melihat batu yang sungguh cantik itu, beliau menciumnya beberapa kali.
Kemudian Nabi Ibrahim as. bertanya, “Dari mana kamu dapat batu ini?” Nabi Ismail as. menjawab, “Batu ini kuterima dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu (Jibril).” Nabi Ibrahim as. mencium lagi batu itu dan diikuti oleh Nabi Ismail as. Sampai sekarang Hajar Aswad itu dicium oleh orang-orang yang pergi ke Baitullah. Siapa saja yang bertawaf di Ka’bah disunnahkan mencium Hajar Aswad. Beratus ribu kaum muslimin berebut ingin mencium Hajar Aswad itu, yang tidak mencium cukuplah dengan memberikan isyarat lambaian tangan saja dari jauh.
Menurut sejarahnya, Hajar Aswad adalah batu yang diberikan Malaikat Jibril kepada Nabi Ismail AS ketika diperintah mencari batu oleh ayahnya, Nabi Ibrahim AS yang hendak meninggikan Kabah. Kala itu, Hajar Aswad menyala-nyala karena saking putihnya. Cahayanya menyinari Barat dan Timur.
Berubahnya warna Hajar Aswad dari semula abyad (putih) menjadi aswad (hitam) karena dosa-dosa anak cucu Adam. Dalam kaitan ini ada sabda Rasulullah SAW yang artinya, “Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, berwarna lebih putih dari susu. Dosa-dosa anak cucu Adam-lah yang menjadikannya hitam”. Mana yang benar? Wallaahua’lam.
Hajar Aswad yang sekarang adalah 8 bongkahan kecil akibat pecahnya batu yang semula besar. Kedelapan bongkahan itu masih tersusun rapi pada tempatnya seperti sekarang. Pecahnya batu itu terjadi pada zaman Qaramithah, yaitu sekte dari Syi’ah Al-Bathiniyyah dari pengikut Abu Thahir Al-Qaramathi yang mencabut Hajar Aswad dan membawanya ke Ihsa’ pada tahun 319 Hijriyah. Tetapi batu itu dikembalikan lagi pada tahun 339 Hijriah.




Syadzarwan adalah dinding yang mengelilingi Ka’bah yang berada dalam bagian bangunan yang berbentuk melengkung di bawah dinding Ka’bah sampai permukaan tanah kecuali di Hijr Ismail. Syadzarwan merupakan bagian dari Ka’bah karena berada di atas pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim as. Menurut Abdullah bin Zubair pembangunan Syadzarwan bertujuan untuk melindungi Ka’bah dari genangan dan aliran air serta untuk mengikat tali Kiswah penutup Ka’bah pada gantungan tetap berbentuk bulat yang ada pada Syadzarwan. Disamping itu bertujuan pula untuk menghindarkan gesekan orang-orang yang sedang Thowaf dengan dinding Ka’bah dan Kiswah penutup Ka’bah sehingga tidak membahayakan mereka pada saat berdesak-desakan disekeliling Ka’bah.
Batu-batu yang digunakan untuk menutup Syadzarwan berasal dari jenis batu pualam marmer yang sangat kuat dan keras. Pada tahun 1417 H di renovasi oleh Raja Fahd dan batu-batu tersebut diperbaharui lagi sehingga lebih kokoh dan kuat. Panjang Syadzarwan pada sisi multazam 12,84 meter, pada sisi Rukun Yamani sampai Hajar Aswad 11,52 meter, pada sisi Rukun Yamani sampai Hijr Ismail 12,11 meter dan diantara dua ambang pintu Hijr Ismail 11,28 meter.
Syadzarwan merupakan bagian dari Ka’bah maka bagi orang-orang yang sedang Thowaf juga tidak diperbolehkan menyentuknya dan termasuk juga melewati udara di atas  Syadzarwan. Kalau hal ini dilanggar maka Thowafnya tidak sah pada putaran tersebut.